Ini contoh proposal yang saya buat ketika kuliah, karena kepanjangan segini dulu.
A.
JUDUL PENELITIAN
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF PENDEKATAN
STRUKTURAL TEAM PAIR SOLO UNTUK
MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA
PESERTA DIDIK KELAS X SMP NEGERI
Y PEKANBARU.
B.
BIDANG ILMU
Pendidikan Matematika.
C.
PENDAHULUAN
Mata pelajaran matematika perlu
diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali
peserta didik dengan kemampuan berfikir logis, analitis, sistematis, kritis dan
kreatif serta kemampuan bekerja sama. Kompetensi tersebut dibutuhkan peserta
didik agar peserta didik memiliki kemampuan memperoleh, mengelola dan
memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah,
tidak pasti dan kompetitif. Menurut Badan Standar
Nasional Pendidikan (BSNP, 2006)
tujuan pembelajaran
matematika adalah agar peserta didik memiliki kemampuan antara lain: (1) Memahami konsep matematika, menjelaskan
keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara
luwes, akurat, efisien dan tepat dalam pemecahan masalah. (2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat,
melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
(3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan
memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan
menafsirkan solusi yang diperoleh. (4) Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel,
diagram atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
(5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika
dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam
matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Keberhasilan
peserta didik mencapai tujuan
pembelajaran matematika ditandai dengan ketuntasan peserta didik mencapai
kompetensi dasar. Menurut Depdiknas
(2006) peserta didik dikatakan tuntas dalam belajar
apabila peserta didik memenuhi
Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) yang telah ditetapkan oleh sekolah. Ketuntasan tersebut
dapat dilihat dari hasil belajar yang diperoleh selama mengikuti proses
pembelajaran matematika.
Berdasarkan data yang
bersumber dari guru matematika SMP Negeri Y Pekanbaru, diperoleh bahwa
hasil belajar 28 peserta didik kelas X SMP Negeri Y Pekanbaru semester ganjil
tahun pelajaran 2013/2014 adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Persentase KKM Peserta Didik pada Ulangan Harian Semester Ganjil
Tahun Pelajaran 2013/2014
No
|
Kompetensi Dasar
|
Jumlah Peserta Didik yang Mencapai KKM
|
Persentase Peserta Didik yang Mencapai KKM
|
1
|
Melakukan operasi
aljabar
|
14
|
50 %
|
2
|
Menguraikan bentuk
aljabar ke dalam faktor-faktornya
|
||
3
|
Memahami relasi dan
fungsi
|
16
|
57 %
|
4
|
Menentukan nilai
fungsi
|
||
5
|
Membuat sketsa
grafik fungsi aljabar sederhana pada
sistem koordinat cartesius
|
||
6
|
Menentukan gradian,
persamaan dan grafik garis lurus
|
10
|
36 %
|
Dari
tabel 1, terlihat masih banyak peserta
didik kelas X yang belum tuntas. Mencermati bahwa
salah satu fakta penyebab rendahnya hasil belajar peserta didik adalah proses
pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Sehingga dengan hal ini, maka untuk
mengetahui bagaimana proses pembelajaran yang terjadi di kelas X SMP Negeri Y
Pekanbaru, peneliti melakukan observasi
sebanyak dua kali. Sebagai hasil observasi diperoleh bahwa pada kegiatan pendahuluan
guru menyiapkan peserta didik untuk belajar tapi tidak menyampaikan tujuan
pembelajaran dan tidak memberikan motivasi. Selain itu, apersepsi juga tidak disampaikan.
Padahal yang seharusnya terjadi adalah guru juga menyampaikan tujuan
pembelajaran, memberikan motivasi dan menyampaikan apersepsi.
Pada kegiatan inti,
guru yang mengajar menerapkan metode
ceramah dengan menjelaskan materi, memberi contoh soal, memberikan latihan dan tanya jawab.
Guru menjadi pusat semua aktivitas peserta didik.
Sehingga, proses pembelajaran hanya terjadi satu arah. Ketika
guru yang mengajar memberikan pertanyaan mengenai materi di tengah proses
pembelajaran, tidak banyak peserta didik yang menanggapi ataupun menjawab
pertanyaan tersebut. Sedangkan peserta
didik yang lain hanya menunggu jawaban dari peserta didik lain yang mampu
menjawab.
Begitu juga pada saat mengerjakan latihan, peserta didik yang kurang paham
menunggu jawaban soal dari peserta didik yang lain, tidak berniat untuk bertanya
pada guru yang mengajar. Peneliti menilai bahwa peserta didik tidak mampu
secara mandiri untuk menyelesaikan persoalan. Padahal yang seharusnya terjadi dalam
kegitan inti adalah adanya proses eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi. Dimana
guru melibatkan peserta didik untuk mencari informasi; memfasilitasi terjadinya interaksi antar peserta didik serta antara peserta didik dengan guru; melibatkan
peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran; memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif;
memfasilitasi peserta didik membuat
laporan eksplorasi yang
dilakukan baik lisan maupun tertulis, secara individual maupun
kelompok; memberikan
umpan balik positif dan penguatan dalam
bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta
didik.
Pada kegiatan penutup, guru memberikan pekerjaan rumah
(PR) kepada peserta didik dan guru menutup pembelajaran pada hari itu. Padahal
yang seharusnya terjadi adalah guru bersama-sama dengan peserta didik atau sendiri membuat rangkuman/simpulan
pelajaran; merencanakan kegiatan tindak lanjut
dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan konseling atau memberikan tugas; menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya.
Guru matematika yang mengajar kelas X juga menyampaikan
bahwa banyak usaha yang telah dilakukan untuk meningkatkan hasil belajar
matematika diantaranya dengan cara menggunakan metode diskusi dalam
melaksanakan proses pembelajaran di kelas. Guru membimbing peserta didik untuk
berdiskusi dengan kelompok yang telah dibentuk, kelompok dibentuk berdasarkan
tempat duduk. Guru juga menceritakan ketika diskusi berlangsung tidak semua
peserta didik serius untuk berdiskusi, banyak peserta didik yang bermain-main
dan justru mengganggu peserta didik lain yang berdiskusi. Selain itu, guru juga
memperbanyak PR untuk dikerjakan di rumah.
Berdasarkan
hasil observasi, peneliti menyimpulkan bahwa masalah yang terjadi
adalah kurangnya partisipasi aktif
peserta didik dan peserta didik yang kurang mampu
menyelesaikan tugas/latihan secara mandiri dalam proses pembelajaran. Peneliti
memandang bahwa Model
Pembelajaran Kooperatif tepat
diterapkan untuk melatih partisipasi aktif
peserta didik dalam proses pembelajaran. Guru kelas X memang
telah menerapkan metode diskusi dan tidak berhasil. Tapi, peneliti memandang
bahwa cara guru matematika kelas X membentuk kelompok diskusi di dalam kelas
kurang tepat karena guru membentuk kelompok berdasarkan tempat duduk. Sedangkan
pembentukkan kelompok dalam model pembelajaran kooperatif didasarkan pada nilai
yang diperoleh oleh peserta didik. Dalam pembelajaran
kooperatif, peserta didik juga
didorong untuk bekerja di dalam kelompok. Peserta didik saling membantu di
dalam kelompok. Peserta didik juga dapat menyampaikan pendapat secara bebas di
dalam kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa peserta
didik dapat berpartisipasi aktif
dalam kelompok pada proses pembelajaran,
sehingga kepasifan peserta didik dapat diatasi. Berikutnya adalah peserta didik
yang kurang mampu menyesaikan tugas/latihan secara mandiri dalam proses
pembelajaran, peneliti memandang bahwa pendekatan struktural Team Pair Solo tepat untuk mengatasi
masalah ini. Menurut Agarwal dan Nandita (2011), model
pembelajaran ini didisain untuk memotivasi peserta didik untuk mengerjakan dan
berhasil menyelesaikan permasalahan yang pada awalnya diluar kemampuan mereka (tidak dapat dikerjakan). Dengan pendekatan ini, peserta
didik menyelesaikan permasalahan dalam team.
Pada tahap ini, peserta didik dapat saling membantu dan
melatih dalam kelompok. Peserta didik dapat saling berbagi informasi dan memahami
konsep materi yang dipelajari. Setelahnya, team dipecah
menjadi berpasangan, peserta didik dilatih untuk menyelesaikan permasalahan dengan pasangannya.
Tahap ini berfungsi untuk melatih peserta didik menerapkan
konsep dan menyelesaikan permasalahan dengan bantuan seorang teman. Kemudian,
barulah peserta didik dipisah dari pasangannya dan mengerjakan permasalahan
yang mirip secara mandiri. Pada tahap ini, peserta didik dilatih menerapkan
konsep yang telah diterima dan menyelesaikan permasalahan tanpa bantuan teman. Karena
menyelesaikan tugas/latihan secara bertahap dari
team hingga solo, peserta didik
terbiasa menyelesaikan
permasalahan dalam kelompok, lalu terbiasa
menyelesaikannya berdua dan akhirnya ia dapat mandiri
menyelesaikan tugas/latihan tersebut.
Dengan demikian, diharapkan peserta didik dapat menyelesaikan persoalan secara mandiri dan hasil belajarpun dapat
ditingkatkan serta
tujuan pembelajaran matematika tercapai.
Berdasarkan
masalah dan penjelasan di atas, peneliti memberikan alternatif pembelajaran, penerapan model
pembelajaran kooperatif pendekatan struktural Team Pair Solo pada kompetensi
dasar menghitung keliling dan luas lingkaran serta menggunakan hubungan sudut
pusat, panjang busur, luas juring dalam pemecahan masalah
di kelas X SMP Negeri Y Pekanbaru.
D.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah apakah penerapan model pembelajaran
kooperatif pendekatan struktural Team
Pair Solo dapat meningkatkan hasil belajar matematka peserta didik Kelas X SMP Negeri Y
Pekanbaru semester genap tahun pelajaran
2013/2014 pada kompetensi dasar menghitung keliling dan luas lingkaran serta
menggunakan hubungan sudut pusat, panjang busur, luas juring dalam pemecahan
masalah?
E.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
meningkatkan hasil belajar metematika peserta
didik kelas X SMP Negeri Y Pekanbaru semester
genap tahun pelajaran 2013/2014 pada kompetensi dasar menghitung keliling dan
luas lingkaran serta menggunakan hubungan sudut pusat, panjang busur, luas
juring dalam pemecahan masalah.
F.
MANFAAT PENELITIAN
Dengan tercapainya tujuan penelitian ini diharapkan:
1.
Bagi peserta didik,
penerapan model pembelajaran kooperatif pendekatan struktural Team Pair Solo diharapkan dapat menjadikan
peserta didik lebih aktif dan
mandiri mengerjakan soal dalam proses
pembelajaran matematika di kelas X SMP Negeri Y Pekanbaru.
2.
Bagi guru, penerapan model
pembelajaran kooperatif pendekatan struktural Team Pair Solo yang dilakukan peneliti ini diharapkan dapat menjadi
salah satu alternatif pembelajaran matematika yang dapat diterapkan di SMP Negeri Y
Pekanbaru.
3.
Bagi sekolah, hasil
penelitian diharapkan dapat dijadikan salah satu masukan dalam rangka
meningkatkan hasil belajar matematika di SMP Negeri Y Pekanbaru.
4.
Bagi peneliti, hasil
penelitian diharapkan dapat menjadi landasan untuk melanjutkan penelitian dalam
ruang lingkup yang lebih besar.
G.
LANDASAN TEORETIS
1.
Belajar dan Hasil Belajar
Menurut
Skinner (dalam Dimyati dan Mudjiono, 2002) belajar adalah suatu perilaku dimana
apabila seseorang telah belajar maka responnya akan lebih baik daripada orang
yang tidak belajar. Selanjutnya, menurut Gagne (dalam Dimyati dan Mudjiono,
2002) belajar merupakan kegiatan yang kompleks, setelah belajar seseorang
memeliki keterampilan, pengetahuan, sikap dan nilai mengenai hal yang telah
dipelajari. Menurut Dimyati dan Mudjiono
(2002), peserta didik yang belajar berarti menggunakan kemampuan kognitif, afektif
dan psikomotorik terhadap lingkungannya. Ranah-ranah tersebut digolongkan oleh
beberapa ahli secara hierarki. Hasil penelitian oleh Bloom dkk dikenal sebagai
taksonomi instruksional Bloom dan kawan-kawan, yang dikategorikan ke dalam
jenis hasil belajar.
Menurut Thorpe (dalam Sudjana, 2000) belajar dirumuskan
sebagai perubahan yang terjadi pada diri peserta didik. Perubahan ini bukan
disebabkan oleh faktor alami melainkan oleh usaha sengaja yang berasal dari
luar peserta didik. Slameto (2010) mendefinisikan belajar sebagai suatu proses
usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku
yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam
interaksi dengan lingkungannya. Jadi,
dapat disimpulkan bahwa belajar matematika adalah suatu proses usaha seseorang untuk memperoleh keterampilan, pengetahuan, sikap, nilai
dan respon yang lebih baik terhadap matematika.
Hasil
belajar menurut Dimyati dan Mudjiono (2002) merupakan hasil dari suatu
interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Hasil belajar dapat dibedakan
menjadi dampak pengajaran dan dampak pengiring. Dampak pengajaran adalah hasil
yang dapat diukur, seperti angka dalam rapor, angka dalam ijazah atau kemampuan
meloncat setelah latihan. Dampak pengiring adalah terapan pengetahuan dan
kemampuan di bidang lain. Sudjana (2000) mengemukakan bahwa hasil belajar bermakna
sebagai suatu kemampuan yang dicapai oleh seseorang setelah melalui kegiatan
belajar atau sesudah mengalami proses belajar. Tegasnya, hasil belajar adalah perubahan
tingkah laku seseorang melalui proses belajar. Jadi, hasil belajar adalah suatu
kemampuan yang dapat dihitung dan diterapkan oleh seseorang serta diperoleh
setelah melalui interaksi di dalam proses belajar. Hasil belajar matematika
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah nilai atau skor yang diperoleh peserta
didik setelah diberikan tes hasil belajar matematika pada kompetensi dasar
menghitung keliling dan luas lingkaran serta menggunakan hubungan sudut pusat,
panjang busur, luas juring dalam pemecahan masalah dalam pembelajaran
kooperatif pendekatan struktural Team Pair Solo kelas X SMP Negeri Y Pekanbaru.
2.
Model Pembelajaran Kooperatif
Slavin
(2010) mengemukakan bahwa pembelajaran
kooperatif merujuk pada berbagai macam metode pengajaran dimana peserta didik bekerja dalam
kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lain dalam mempelajari
materi pelajaran. Menurut
Ibrahim, dkk (2001) model pembelajaran
kooperatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
a.
Peserta didik bekerja
dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi belajarnya.
b.
Kelompok dibentuk dari
peserta didik yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah.
c.
Bila memungkinkan, anggota kelompok
berasal dari ras, budaya, suku, jenis kelamin yang berbeda-beda.
d.
Penghargaan lebih
berorientasi kelompok ketimbang individu.
Roger dan David Johnson
(dalam Lie, 2007) mengatakan bahwa
tidak semua kerja kelompok bisa dianggap pembelajaran kooperatif. Lie (2007) mengatakan untuk
mencapai hasil yang
maksimal, lima unsur model pembelajaran kooperatif harus diterapkan, yaitu:
a.
Saling ketergantungan
positif.
b.
Tanggung jawab
perseorangan.
c.
Tatap muka.
d.
Komunikasi antar anggota.
e.
Evaluasi proses
kelompok.
Menurut
Ibrahim, dkk (2001) terdapat 6 langkah
atau tahapan dalam pembelajaran kooperatif seperti pada table, berikut.
Tabel 2.
Sintaks Model Pembelajaran Kooperatif
Fase
|
Tingkah
Laku Guru
|
Fase 1
Menyampaikan
tujuan dan memotivasi peserta didik
|
Guru
menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran
tersebut dan memotivasi peserta didik belajar.
|
Fase 2
Menyajikan
informasi
|
Guru
menyajikan informasi kepada peserta didik dengan jalan demonstrasi atau lewat
bahan bacaan
|
Fase 3
Mengorganisasikan
peserta didik ke dalam kelompok-kelompok belajar
|
Guru
menjeleskan kepada peserta didik bagaimana caranya membentuk kelompok belajar
dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien
|
Fase 4
Membimbing
kelompok bekerja dan belajar
|
Guru
membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas
mereka
|
Fase 5
Evaluasi
|
Guru
mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau
masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya
|
Fase 6
Memberikan
penghargaan
|
Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik
proses maupun hasil belajar individu dan kelompok
|
Penerapan
Sintaks model pembelajaran kooperatif di atas adalah sebagai berikut.
a. Menyampaikan tujuan dan memotivasi peserta didik
Pada
tahap ini, guru mempersiapkan peserta didik, guru menyampaikan semua tujuan
pembelajaran yang ingin dicapai pada pembelajaran. Guru juga harus memberikan
motivasi yang berhubungan dengan materi yang akan diajarkan. Motivasi dapat berupa
kalimat-kalimat yang dapat menarik keinginan peserta didik untuk mempelajari
materi.
b. Menyajikan informasi
Guru
menginformasikan langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran. Guru menyampaikan hal-hal penting yang harus
dilakukan peserta didik selama proses pembelajaran.
c. Mengorganisasikan peserta didik ke dalam kelompok-kelompok
belajar
Pakar
pendidikan John Dewey (dalam Lie, 2007) mengatakan
bahwa sekolah seharusnya menjadi miniatur masayarakat. Oleh karena itu, sekolah
ataupun ruangan kelas perlu mencerminkan keanekaragaman dalam masyarakat. Dalam
pembelajaran kooperatif, guru membentuk sendiri kelompok-kelompok diskusi. Menurut Trianto (2012) setiap
anggota kelompok diusahakan mempunyai kemampuan yang heterogen dan kemampuan antar satu kelompok dengan kelompok
lainnya relatif homogen. Apabila memungkinkan kelompok terdiri atas peserta
didik yang berasal dari ras, budaya, suku, jenis kelamin yang berbeda-beda. Trianto (2012) berpendapat bahwa apabila kelas terdiri
dari ras dan latar belakang yang relaatif sama, maka pembentukan kelompok dapat
didasarkan pada prestasi akademik seperti di bawah ini.
·
Peserta
didik terlebih dahulu diurutkan sesuai kepandaian.
·
Menentukan
tiga kelompok dalam kelas yaitu kelompok atas, kelompok menengah dan kelompok
bawah. Kelompok atas sebanyak 25% dari seluruh peserta didik yang diambil dari peserta
didik ranking satu, kelompok tengah 50% dari seluruh peserta didik yang diambil
dari urutan setelah diambil kelompok atas dan kelompok bawah sebanyak 25% dari
seluruh peserta didik yaitu terdiri atas peserta didik setelah diambil kelompok
atas dan kelompok menengah. Peneliti akan membagi kelompok, dimana setiap
kelompok terdiri dari seorang peserta didik kemampuan tinggi, dua orang peserta
didik kemampuan sedang dan seorang peserta didik kemampuan rendah.
·
Menentukan
skor awal yaitu nilai ulangan sebelumnya.
·
Pengaturan
tempat duduk yang baik. Peserta didik diatur tempat duduknya untuk menunjang
terlaksananya pembelajaran kooperatif.
·
Kerja
kelompok.
d.
Membimbing kelompok
bekerja dan belajar
Peserta
didik bekerja sama dan mengungkapkan pendapatnya dalam kelompok untuk
menyelesaikan permasalahan matematika. Peserta didik bekerja dengan menggunakan
LKPD. Guru membimbing kelompok dengan mendatangi kelompok satu-persatu, lalu
membimbing hal-hal yang dianggap sulit oleh peserta didik. Apabila ada yang
bertanya, guru menjelaskan untuk kelas bukan hanya untuk kelompok yang
bertanya.
e. Evaluasi
Guru
meminta pertanggungjawaban setiap kelompok atas semua hasil diskusinya yaitu
dengan meminta setiap perwakilan kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi
kelompoknya. Anggota perwakilan kelompok
yang tampil, dipilih secara acak.
f. Memberikan penghargaan
Penghargaan
diberikan oleh guru kepada kelompok dan bukan kepada individu. Penghargaan
diberikan sesuai dengan kinerja kelompok.
Penghargaan diberikan setelah menghitung skor individu dan skor kelompok. Skor
individu dihitung untuk menentukan nilai perkembangan individu yang
disumbangkan oleh peserta didik sebagai skor kelompok. Perhitungan nilai
perkembangan individu dilakukan dengan menghitung selisih antara skor tes
terakhir dengan skor tes terdahulu.
Slavin (2010) membuat sebuah kriteria nilai perkembangan
individu, seperti tabel di bawah ini.
Tabel 3.
Nilai
Perkembangan Individu
No
|
Skor Tes
|
Nilai Perkembangan
|
1
|
Lebih dari 10 poin di bawah skor dasar
|
5
|
2
|
Antara 10 sampai 1 poin di bawah skor dasar
|
10
|
3
|
Sama dengan skor dasar sampai 10 poin di atas skor dasar
|
20
|
4
|
Lebih dari 10 poin di atas skor dasar
|
30
|
5
|
Nilai sempurna (tidak berdasarkan skor dasar
|
30
|
Tujuan
dibuatnya skor awal dan nilai perkembangan adalah memungkinkan semua peserta
didik memberikan poin maksimum bagi kelompoknya. Slavin (2010) menyatakan terdapat tiga
tingkatan kriteria penghargaan yang diberikan untuk penghargaan kelompok seperti pada tabel, berikut.
Tabel 4. Kriteria Penghargaan kelompok Slavin
Kriteria
|
Kriteria
|
15
|
Baik
|
20
|
Hebat
|
25
|
Super
|
Perhitungan skor kelompok
dilakukan dengan menjumlahkan seluruh poin nilai perkembangan individu lalu
dibagi dengan jumlah anggota kelompok yang hadir, bulatkan semua pecahan. Semua
kelompok dapat meraih penghargaan dan kelompok tidak berkompetisi antara satu
sama lain. Namun, peneliti tidak menggunakan kriteria penghargaan kelompok yang
dikemukakan oleh Slavin. Selain Slavin, Ratumanan (dalam Trianto, 2012) juga
membuat kriteri penghargaan kelompok seperti tabel berikut.
Tabel 5. Kriteria Penghargaan Kelompok Ratumanan
Rata-Rata Tim
|
Prediket
|
0
5
|
-
|
5
15
|
Tim Baik
|
15
25
|
Tim Hebat
|
25
30
|
Tim Super
|
Setelah masing-masing
kelompok memperoleh prediket, penghargaan/ hadiah dapat diberikan kepada
masing-masing kelompok sesuai prediketnya. Peneliti akan menggunakan modifikasi
kriteria penghargaan kelompok Slavin dan Ratumanan dalam penelitian ini.
Peneliti akan menggunakan kriteria seperti tabel berikut.
Tabel 6. Modifikasi Kriteria Penghargaan Kelompok Slavin
dan Ratumanan yang Akan Digunakan oleh Peneliti
Rata-Rata Tim
|
Prediket
|
5
15
|
Baik
|
15
25
|
Hebat
|
25
30
|
Super
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar