Sabtu, 20 Juni 2015

Contoh Proposal Penelitian Tindakan Kelas (PTK) Matematika dengan Model Team Pair Solo 1

Ini contoh proposal yang saya buat ketika kuliah, karena kepanjangan segini dulu.

A.    JUDUL PENELITIAN
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF PENDEKATAN STRUKTURAL TEAM PAIR SOLO UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA PESERTA DIDIK KELAS X SMP NEGERI Y PEKANBARU.
B.     BIDANG ILMU
Pendidikan Matematika.

C.    PENDAHULUAN
Mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berfikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif serta kemampuan bekerja sama. Kompetensi tersebut dibutuhkan peserta didik agar peserta didik memiliki kemampuan memperoleh, mengelola dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti dan kompetitif. Menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP, 2006) tujuan pembelajaran matematika adalah agar peserta didik memiliki kemampuan antara lain: (1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien dan tepat dalam pemecahan masalah. (2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. (3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. (4) Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. (5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Keberhasilan peserta didik mencapai tujuan pembelajaran matematika ditandai dengan ketuntasan peserta didik mencapai kompetensi dasar. Menurut Depdiknas (2006) peserta didik dikatakan tuntas dalam belajar apabila peserta didik memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) yang telah ditetapkan oleh sekolah. Ketuntasan tersebut dapat dilihat dari hasil belajar yang diperoleh selama mengikuti proses pembelajaran matematika.
Berdasarkan data yang bersumber dari guru matematika SMP Negeri Y Pekanbaru, diperoleh bahwa hasil belajar 28 peserta didik kelas X SMP Negeri Y Pekanbaru semester ganjil tahun pelajaran 2013/2014 adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Persentase KKM Peserta Didik pada Ulangan Harian Semester Ganjil Tahun Pelajaran 2013/2014
No
Kompetensi Dasar
Jumlah Peserta Didik yang Mencapai KKM
Persentase Peserta Didik yang Mencapai KKM
1
Melakukan operasi aljabar
14
50 %
2
Menguraikan bentuk aljabar ke dalam faktor-faktornya
3
Memahami relasi dan fungsi
16
57 %
4
Menentukan nilai fungsi
5
Membuat sketsa grafik  fungsi aljabar sederhana pada sistem koordinat cartesius
6
Menentukan gradian, persamaan dan grafik garis lurus
10
36 %
Dari tabel 1, terlihat masih banyak peserta didik kelas X yang belum tuntas. Mencermati bahwa salah satu fakta penyebab rendahnya hasil belajar peserta didik adalah proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Sehingga dengan hal ini, maka untuk mengetahui bagaimana proses pembelajaran yang terjadi di kelas X SMP Negeri Y Pekanbaru, peneliti melakukan observasi sebanyak dua kali. Sebagai hasil observasi diperoleh bahwa pada kegiatan pendahuluan guru menyiapkan peserta didik untuk belajar tapi tidak menyampaikan tujuan pembelajaran dan tidak memberikan motivasi. Selain itu, apersepsi juga tidak disampaikan. Padahal yang seharusnya terjadi adalah guru juga menyampaikan tujuan pembelajaran, memberikan motivasi dan menyampaikan apersepsi.
Pada kegiatan inti, guru yang mengajar menerapkan metode ceramah dengan menjelaskan materi, memberi contoh soal, memberikan latihan dan tanya jawab. Guru menjadi pusat semua aktivitas peserta didik. Sehingga, proses pembelajaran hanya terjadi satu arah. Ketika guru yang mengajar memberikan pertanyaan mengenai materi di tengah proses pembelajaran, tidak banyak peserta didik yang menanggapi ataupun menjawab pertanyaan tersebut. Sedangkan peserta didik yang lain hanya menunggu jawaban dari peserta didik lain yang mampu menjawab. Begitu juga pada saat mengerjakan latihan, peserta didik yang kurang paham menunggu jawaban soal dari peserta didik yang lain, tidak berniat untuk bertanya pada guru yang mengajar. Peneliti menilai bahwa peserta didik tidak mampu secara mandiri untuk menyelesaikan persoalan. Padahal yang seharusnya terjadi dalam kegitan inti adalah adanya proses eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi. Dimana guru melibatkan peserta didik untuk mencari informasi; memfasilitasi terjadinya interaksi antar peserta didik serta antara peserta didik dengan guru;          melibatkan peserta didik secara aktif dalam se­tiap kegiatan pembelajaran; memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif; memfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik lisan maupun tertulis, secara individual maupun kelompok; memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan,  isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik.
Pada kegiatan penutup, guru memberikan pekerjaan rumah (PR) kepada peserta didik dan guru menutup pembelajaran pada hari itu. Padahal yang seharusnya terjadi adalah guru bersama-sama dengan peserta didik atau sendiri membuat rangkuman/simpulan pelajaran; merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layan­an konseling atau memberikan tugas; menyampaikan rencana pembelajaran pada per­temuan berikutnya.
Guru matematika yang mengajar kelas X juga menyampaikan bahwa banyak usaha yang telah dilakukan untuk meningkatkan hasil belajar matematika diantaranya dengan cara menggunakan metode diskusi dalam melaksanakan proses pembelajaran di kelas. Guru membimbing peserta didik untuk berdiskusi dengan kelompok yang telah dibentuk, kelompok dibentuk berdasarkan tempat duduk. Guru juga menceritakan ketika diskusi berlangsung tidak semua peserta didik serius untuk berdiskusi, banyak peserta didik yang bermain-main dan justru mengganggu peserta didik lain yang berdiskusi. Selain itu, guru juga memperbanyak PR untuk dikerjakan di rumah.
Berdasarkan hasil observasi, peneliti menyimpulkan bahwa masalah yang terjadi adalah kurangnya partisipasi aktif peserta didik dan peserta didik yang kurang mampu menyelesaikan tugas/latihan secara mandiri dalam proses pembelajaran. Peneliti memandang bahwa Model Pembelajaran Kooperatif tepat diterapkan untuk melatih partisipasi aktif peserta didik dalam proses pembelajaran. Guru kelas X memang telah menerapkan metode diskusi dan tidak berhasil. Tapi, peneliti memandang bahwa cara guru matematika kelas X membentuk kelompok diskusi di dalam kelas kurang tepat karena guru membentuk kelompok berdasarkan tempat duduk. Sedangkan pembentukkan kelompok dalam model pembelajaran kooperatif didasarkan pada nilai yang diperoleh oleh peserta didik. Dalam pembelajaran kooperatif, peserta didik juga didorong untuk bekerja di dalam kelompok. Peserta didik saling membantu di dalam kelompok. Peserta didik juga dapat menyampaikan pendapat secara bebas di dalam kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa peserta didik dapat berpartisipasi aktif dalam kelompok pada proses pembelajaran, sehingga kepasifan peserta didik dapat diatasi. Berikutnya adalah peserta didik yang kurang mampu menyesaikan tugas/latihan secara mandiri dalam proses pembelajaran, peneliti memandang bahwa pendekatan struktural Team Pair Solo tepat untuk mengatasi masalah ini. Menurut Agarwal dan Nandita (2011), model pembelajaran ini didisain untuk memotivasi peserta didik untuk mengerjakan dan berhasil menyelesaikan permasalahan yang pada awalnya diluar kemampuan mereka (tidak dapat dikerjakan). Dengan pendekatan ini, peserta didik menyelesaikan permasalahan dalam team. Pada tahap ini, peserta didik dapat saling membantu dan melatih dalam kelompok. Peserta didik dapat saling berbagi informasi dan memahami konsep materi yang dipelajari. Setelahnya, team dipecah menjadi berpasangan, peserta didik dilatih untuk menyelesaikan permasalahan dengan pasangannya. Tahap ini berfungsi untuk melatih peserta didik menerapkan konsep dan menyelesaikan permasalahan dengan bantuan seorang teman. Kemudian, barulah peserta didik dipisah dari pasangannya dan mengerjakan permasalahan yang mirip secara mandiri. Pada tahap ini, peserta didik dilatih menerapkan konsep yang telah diterima dan menyelesaikan permasalahan tanpa bantuan teman. Karena menyelesaikan tugas/latihan secara bertahap dari team hingga solo, peserta didik terbiasa menyelesaikan permasalahan dalam kelompok, lalu terbiasa menyelesaikannya berdua dan akhirnya ia dapat mandiri menyelesaikan tugas/latihan tersebut. Dengan demikian, diharapkan peserta didik dapat menyelesaikan persoalan secara mandiri dan hasil belajarpun dapat ditingkatkan serta tujuan pembelajaran matematika tercapai.
Berdasarkan masalah dan penjelasan di atas, peneliti memberikan alternatif pembelajaran, penerapan model pembelajaran kooperatif pendekatan struktural Team Pair Solo pada kompetensi dasar menghitung keliling dan luas lingkaran serta menggunakan hubungan sudut pusat, panjang busur, luas juring dalam pemecahan masalah di kelas X SMP Negeri Y Pekanbaru.
 D.    RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah penerapan model pembelajaran kooperatif pendekatan struktural Team Pair Solo dapat meningkatkan hasil belajar matematka peserta didik Kelas X SMP Negeri Y Pekanbaru semester genap tahun pelajaran 2013/2014 pada kompetensi dasar menghitung keliling dan luas lingkaran serta menggunakan hubungan sudut pusat, panjang busur, luas juring dalam pemecahan masalah?

E.     TUJUAN PENELITIAN
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk meningkatkan hasil belajar metematika peserta didik kelas X SMP Negeri Y Pekanbaru semester genap tahun pelajaran 2013/2014 pada kompetensi dasar menghitung keliling dan luas lingkaran serta menggunakan hubungan sudut pusat, panjang busur, luas juring dalam pemecahan masalah.

F.     MANFAAT PENELITIAN
Dengan tercapainya tujuan penelitian ini diharapkan:
1.      Bagi peserta didik, penerapan model pembelajaran kooperatif pendekatan struktural Team Pair Solo diharapkan dapat menjadikan peserta didik lebih aktif dan mandiri mengerjakan soal dalam proses pembelajaran matematika di kelas X SMP Negeri Y Pekanbaru.
2.      Bagi guru, penerapan model pembelajaran kooperatif pendekatan struktural Team Pair Solo yang dilakukan peneliti ini diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif pembelajaran matematika yang dapat diterapkan di SMP Negeri Y Pekanbaru.
3.      Bagi sekolah, hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan salah satu masukan dalam rangka meningkatkan hasil belajar matematika di SMP Negeri Y Pekanbaru.
4.      Bagi peneliti, hasil penelitian diharapkan dapat menjadi landasan untuk melanjutkan penelitian dalam ruang lingkup yang lebih besar.

G.    LANDASAN TEORETIS
1.      Belajar dan Hasil Belajar
Menurut Skinner (dalam Dimyati dan Mudjiono, 2002) belajar adalah suatu perilaku dimana apabila seseorang telah belajar maka responnya akan lebih baik daripada orang yang tidak belajar. Selanjutnya, menurut Gagne (dalam Dimyati dan Mudjiono, 2002) belajar merupakan kegiatan yang kompleks, setelah belajar seseorang memeliki keterampilan, pengetahuan, sikap dan nilai mengenai hal yang telah dipelajari. Menurut Dimyati dan Mudjiono (2002), peserta didik yang belajar berarti menggunakan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik terhadap lingkungannya. Ranah-ranah tersebut digolongkan oleh beberapa ahli secara hierarki. Hasil penelitian oleh Bloom dkk dikenal sebagai taksonomi instruksional Bloom dan kawan-kawan, yang dikategorikan ke dalam jenis hasil belajar.
Menurut Thorpe (dalam Sudjana, 2000) belajar dirumuskan sebagai perubahan yang terjadi pada diri peserta didik. Perubahan ini bukan disebabkan oleh faktor alami melainkan oleh usaha sengaja yang berasal dari luar peserta didik. Slameto (2010) mendefinisikan belajar sebagai suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa belajar matematika adalah suatu proses usaha seseorang untuk memperoleh keterampilan, pengetahuan, sikap, nilai dan respon yang lebih baik terhadap matematika.
Hasil belajar menurut Dimyati dan Mudjiono (2002) merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Hasil belajar dapat dibedakan menjadi dampak pengajaran dan dampak pengiring. Dampak pengajaran adalah hasil yang dapat diukur, seperti angka dalam rapor, angka dalam ijazah atau kemampuan meloncat setelah latihan. Dampak pengiring adalah terapan pengetahuan dan kemampuan di bidang lain. Sudjana (2000) mengemukakan bahwa hasil belajar bermakna sebagai suatu kemampuan yang dicapai oleh seseorang setelah melalui kegiatan belajar atau sesudah mengalami proses belajar. Tegasnya, hasil belajar adalah perubahan tingkah laku seseorang melalui proses belajar. Jadi, hasil belajar adalah suatu kemampuan yang dapat dihitung dan diterapkan oleh seseorang serta diperoleh setelah melalui interaksi di dalam proses belajar. Hasil belajar matematika yang dimaksud dalam penelitian ini adalah nilai atau skor yang diperoleh peserta didik setelah diberikan tes hasil belajar matematika pada kompetensi dasar menghitung keliling dan luas lingkaran serta menggunakan hubungan sudut pusat, panjang busur, luas juring dalam pemecahan masalah dalam pembelajaran kooperatif pendekatan struktural Team Pair Solo kelas X SMP Negeri Y Pekanbaru.
2.      Model Pembelajaran Kooperatif
Slavin (2010) mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif merujuk pada berbagai macam metode pengajaran dimana peserta didik bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lain dalam mempelajari materi pelajaran.  Menurut Ibrahim, dkk (2001) model pembelajaran kooperatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
a.      Peserta didik bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi belajarnya.
b.      Kelompok dibentuk dari peserta didik yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah.
c.      Bila memungkinkan, anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku, jenis kelamin yang berbeda-beda.
d.     Penghargaan lebih berorientasi kelompok ketimbang individu.
Roger dan David Johnson (dalam Lie, 2007) mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap pembelajaran kooperatif. Lie (2007) mengatakan untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur model pembelajaran kooperatif harus diterapkan, yaitu:
a.      Saling ketergantungan positif.
b.      Tanggung jawab perseorangan.
c.      Tatap muka.
d.     Komunikasi antar anggota.
e.      Evaluasi proses kelompok.
Menurut Ibrahim, dkk (2001) terdapat 6 langkah atau tahapan dalam pembelajaran kooperatif seperti pada table, berikut.
Tabel 2. Sintaks Model Pembelajaran Kooperatif
Fase
Tingkah Laku Guru
Fase 1
Menyampaikan tujuan dan memotivasi peserta didik
Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi peserta didik belajar.
Fase 2
Menyajikan informasi
Guru menyajikan informasi kepada peserta didik dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan
Fase 3
Mengorganisasikan peserta didik ke dalam kelompok-kelompok belajar
Guru menjeleskan kepada peserta didik bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien
Fase 4
Membimbing kelompok bekerja dan belajar
Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka
Fase 5
Evaluasi
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya
Fase 6
Memberikan penghargaan
Guru  mencari cara-cara untuk menghargai baik proses maupun hasil belajar individu dan kelompok

Penerapan Sintaks model pembelajaran kooperatif di atas adalah sebagai berikut.
a.      Menyampaikan tujuan dan memotivasi peserta didik
Pada tahap ini, guru mempersiapkan peserta didik, guru menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada pembelajaran. Guru juga harus memberikan motivasi yang berhubungan dengan materi yang akan diajarkan. Motivasi dapat berupa kalimat-kalimat yang dapat menarik keinginan peserta didik untuk mempelajari materi.
 b.      Menyajikan informasi
Guru menginformasikan langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran. Guru menyampaikan hal-hal penting yang harus dilakukan peserta didik selama proses pembelajaran.
c.      Mengorganisasikan peserta didik ke dalam kelompok-kelompok belajar
Pakar pendidikan John Dewey (dalam Lie, 2007) mengatakan bahwa sekolah seharusnya menjadi miniatur masayarakat. Oleh karena itu, sekolah ataupun ruangan kelas perlu mencerminkan keanekaragaman dalam masyarakat. Dalam pembelajaran kooperatif, guru membentuk sendiri kelompok-kelompok diskusi. Menurut Trianto (2012) setiap anggota kelompok diusahakan mempunyai kemampuan yang heterogen dan kemampuan antar satu kelompok dengan kelompok lainnya relatif homogen. Apabila memungkinkan kelompok terdiri atas peserta didik yang berasal dari ras, budaya, suku, jenis kelamin yang berbeda-beda. Trianto (2012) berpendapat bahwa apabila kelas terdiri dari ras dan latar belakang yang relaatif sama, maka pembentukan kelompok dapat didasarkan pada prestasi akademik seperti di bawah ini.
·         Peserta didik terlebih dahulu diurutkan sesuai kepandaian.
·         Menentukan tiga kelompok dalam kelas yaitu kelompok atas, kelompok menengah dan kelompok bawah. Kelompok atas sebanyak 25% dari seluruh peserta didik yang diambil dari peserta didik ranking satu, kelompok tengah 50% dari seluruh peserta didik yang diambil dari urutan setelah diambil kelompok atas dan kelompok bawah sebanyak 25% dari seluruh peserta didik yaitu terdiri atas peserta didik setelah diambil kelompok atas dan kelompok menengah. Peneliti akan membagi kelompok, dimana setiap kelompok terdiri dari seorang peserta didik kemampuan tinggi, dua orang peserta didik kemampuan sedang dan seorang peserta didik kemampuan rendah.
·         Menentukan skor awal yaitu nilai ulangan sebelumnya.
·         Pengaturan tempat duduk yang baik. Peserta didik diatur tempat duduknya untuk menunjang terlaksananya pembelajaran kooperatif.
·         Kerja kelompok.
d.     Membimbing kelompok bekerja dan belajar
Peserta didik bekerja sama dan mengungkapkan pendapatnya dalam kelompok untuk menyelesaikan permasalahan matematika. Peserta didik bekerja dengan menggunakan LKPD. Guru membimbing kelompok dengan mendatangi kelompok satu-persatu, lalu membimbing hal-hal yang dianggap sulit oleh peserta didik. Apabila ada yang bertanya, guru menjelaskan untuk kelas bukan hanya untuk kelompok yang bertanya.
e.      Evaluasi
Guru meminta pertanggungjawaban setiap kelompok atas semua hasil diskusinya yaitu dengan meminta setiap perwakilan kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya. Anggota perwakilan kelompok yang tampil, dipilih secara acak.
f.       Memberikan penghargaan
Penghargaan diberikan oleh guru kepada kelompok dan bukan kepada individu. Penghargaan diberikan sesuai dengan kinerja kelompok. Penghargaan diberikan setelah menghitung skor individu dan skor kelompok. Skor individu dihitung untuk menentukan nilai perkembangan individu yang disumbangkan oleh peserta didik sebagai skor kelompok. Perhitungan nilai perkembangan individu dilakukan dengan menghitung selisih antara skor tes terakhir dengan skor tes terdahulu.
Slavin (2010) membuat sebuah kriteria nilai perkembangan individu, seperti tabel di bawah ini.
Tabel 3. Nilai Perkembangan Individu
No
Skor Tes
Nilai Perkembangan
1
Lebih dari 10 poin di bawah skor dasar
5
2
Antara 10 sampai 1 poin di bawah skor dasar
10
3
Sama dengan skor dasar sampai 10 poin di atas skor dasar
20
4
Lebih dari 10 poin di atas skor dasar
30
5
Nilai sempurna (tidak berdasarkan skor dasar
30

Tujuan dibuatnya skor awal dan nilai perkembangan adalah memungkinkan semua peserta didik memberikan poin maksimum bagi kelompoknya. Slavin (2010) menyatakan terdapat tiga tingkatan kriteria penghargaan yang diberikan untuk penghargaan kelompok seperti pada tabel, berikut.
Tabel 4. Kriteria Penghargaan kelompok Slavin
Kriteria
Kriteria
15
Baik
20
Hebat
25
Super

            Perhitungan skor kelompok dilakukan dengan menjumlahkan seluruh poin nilai perkembangan individu lalu dibagi dengan jumlah anggota kelompok yang hadir, bulatkan semua pecahan. Semua kelompok dapat meraih penghargaan dan kelompok tidak berkompetisi antara satu sama lain. Namun, peneliti tidak menggunakan kriteria penghargaan kelompok yang dikemukakan oleh Slavin. Selain Slavin, Ratumanan (dalam Trianto, 2012) juga membuat kriteri penghargaan kelompok seperti tabel berikut.
Tabel 5. Kriteria Penghargaan Kelompok Ratumanan
Rata-Rata Tim
Prediket
0 5
-
5 15
Tim Baik
15 25
Tim Hebat
25 30
Tim Super
           
            Setelah masing-masing kelompok memperoleh prediket, penghargaan/ hadiah dapat diberikan kepada masing-masing kelompok sesuai prediketnya. Peneliti akan menggunakan modifikasi kriteria penghargaan kelompok Slavin dan Ratumanan dalam penelitian ini. Peneliti akan menggunakan kriteria seperti tabel berikut.
Tabel 6. Modifikasi Kriteria Penghargaan Kelompok Slavin dan Ratumanan yang Akan Digunakan oleh Peneliti
Rata-Rata Tim
Prediket
5 15
Baik
15 25
Hebat
25 30
Super


Tidak ada komentar:

Posting Komentar